"Kalau boleh dan diperkenankan, kita buat saja kisah kita jadi novel. Mau?"
"Memangnya sedramatis itu?"
"Iya"
-
Tengah malam. Seperti yang sudah-sudah, aku bernyanyi di kala larut. Di kala semua terlelap namun aku belum. Selalu saja berkutat entah dengan tugas ataupun pekerjaan yang belum selesai. Entah manajemen waktunya yang terlalu kacau, atau diriku saja yang doyan bekerja. Entahlah. Mengerti diriku sendiri pun aku tak bisa.
Ini malam ke-283 kita tidak bertemu. Bila kau bilang tahun lalu dan tahun lalunya lagi adalah neraka untukmu, tahun ini adalah neraka untukku. Tidak bertemu denganmu adalah neraka bagiku. Aku membenci jarak. Lebih dari yang bisa kau kira. Aku tak suka ditempeli, tapi aku suka menempel hanya padamu. Mengganggumu adalah senang bagiku. Semua frustasi ini bahkan sudah berlalu saking lamanya kita tidak bertemu. Kamu dan ketakutan dan ketidakberdayaanmu. Aku dan keras kepala dan egoisku yang susah dilawan. Semesta bahkan mendukung untuk benar-benar menjauhkan kita. Karena kita pun tahu, tak ada yang benar yang bisa terjadi saat ini.
Aku terus-terusan tak bergeming. Seakan buta akan semua konsekuensi. Padahal aku pun tau, aku pun sadar. Tidak baik bila begini. Egoku terlalu besar, menginginkan untuk selalu bertemu walau tak tau apa yang mau dikatakan. Aku enggan percaya. Tak ada yang bisa aku percaya karena aku meragu pada semua yang kau ucapkan. Berlindung dibalik tameng perlindungan diri. Kamu merindu aku saja aku tak bisa percaya. Mana buktinya? Tidak ada yang bisa aku lihat. Apa benar kamu merindu? Memang bagaimana rupanya? Ah paling hanya bualannya saja. Buatku selalu bertanya berulang kali dan buatmu muak. Pasti melelahkan bagimu, sama aku pun juga. Terus-terusan bertanya dalam pikiranku apakah benar? Apakah iya? Semua itu buatku gila.
Malam ini aku bernyanyi. Lagu yang kau putarkan sore itu. Salah satu lagu dalam playlist yang kamu buatkan untukku. Lagu manis dari band yang engkau suka. Malam ini aku nyanyikan. Walaupun bahkan hingga kini aku selalu berburuk sangka, tiap hari aku selalu dihantam rindu. Entah sampai kapan aku harus merasa begini. Padahal lagu disko, tapi kalau tau itu kesukaanmu saja, bisa menetes air mataku dan mulai menangis merindu padamu. Mendengarkan lagu yang kau suka, melihat pakaian dan mencium aroma parfum yang biasa kau pakai, mendengar namamu disebut, sungguh menyiksa diriku. Sangat,sangat, menyiksa.
Aku berpaling. Aku selalu mencoba berpaling. Kau yang suruh. Kau yang minta. Aku hanya menurutinya karena walaupun aku tak suka, aku tidak punya pilihan lain. Kamu bukan pilihanku dan itu takdir yang harus aku terima. Yang berusaha aku percayai adalah.. kamu bersenang-senang disana. Menjalani hidup tenang seperti sebelum ada aku hadir di hidupmu. Tertawa. Bercanda. Senang. Bukannya aku melarangmu berbahagia. Tapi sungguh aku benci melihatmu bahagia, kalau bukan bersama aku. Melihatmu bahagia turut buatku bahagia sungguh ungkapan paling klise yang bisa kudengar. Karena aku tidak. Aku tidak sanggup melihatmu bahagia kalau bukan bersama aku. Nikmatilah hidupmu, tapi jangan harap aku sudi menyelamati hidup bahagiamu. Karena yang aku harapkan ada disampingmu itu aku. Tapi, yah, memang aku siapa melawan takdir? Nabi? Gadis ini dan keeegoisannya. Biarkan saja dia gila sendiri.