Aku Tidak Melihat Pakaian Seperti Dulu; Sebelum Menjalankan Bisnis Fashion
dan efeknya terhadapku dalam menilai sesuatu...
Pakaian adalah kebutuhan sekunder setelah kebutuhan primer yakni makanan terpenuhi. Selain sebagai sebuah kebutuhan, di kehidupan modern ini, kebutuhan semua orang terhadap pakaian bahkan telah menjadi level selanjutnya dalam kebutuhan tersier manusia. Dimana kain-kain ini kini diolah bukan lagi hanya dipakai sekedar untuk melindungi diri. Namun memiliki makna dan pesan yang lebih dari itu. Ada fungsi lain dari pakaian salah satunya menampilkan statusnya di sosial serta meningkatkan citra serta persepsi diri terhadap siapapun yang melihat¹
Gaya berpakaian seseorang dipengaruhi oleh banyak hal seperti budaya, nilai-nilai yang diwarisi kelompok terdekatnya, keluarga, lingkungan, media, tren fashion, hingga karakter pribadi. Semuanya memberi andil tentang cara berpakaian yang membentuk preferensi pribadi pemakainya¹
Cara seseorang memadukan pakaian lalu caranya bersolek; menampilkan kesan yang relatif bertahan lama dalam benak seseorang yang memperhatikannya. Bahkan dari bagaimana model kacamata yang seseorang pilih dapat memengaruhi persepsi orang lain terhadap orang yang memakainya. Entah orang tersebut akan terlihat pintar, maupun terlihat konyol. Tergantung seperti apa model kacamata yang ia kenakan.
Manusia cenderung menampilkan karakternya; nampak dari apa yang ia kenakan. Langkah pertamanya ialah mereka berpenampilan dengan kesan yang mereka harapkan. Untuk terlihat dan menjadi lebih seperti apa yang mereka bayangkan. Dalam pekerjaan misalnya, memakai jas dengan siluet rapi, pakaian licin dan wangi, berpakaian seakan seorang eksekutif. Penampilan rapi menunjukkan sikap profesionalisme² yang mampu memengaruhi siapapun yang melihatnya untuk menerka status yang ingin atau telah dimilikinya.
Pentingnya penampilan terhadap kesan seseorang kemudian dilanjutkan dengan pertanyaan. “Bagaimana dengan harganya?” Apakah lalu harga dari sebuah pakaian yang dikenakan akan menjadi penting tergantung mahal murahnya?
Setelah kesan pertama yang dapat orang lihat sekilas, kemudian detail yang mereka kenakan menjadi penilaian yang publik lanjutkan dalam mendalami kesan terhadap seseorang tersebut. Merk apa yang dipakai? Dimana kira-kira pakaiannya dibeli? Apakah ini barang original atau KW super? Thrift atau custom? Apakah penilaian seperti ini di masyarakat urban kemudian menjadi sesuatu yang berlebihan? Mungkin terdengar mengada-ada. Namun, tidak bagi kehidupan sosial yang berlaku di masyarakat. Sebagaimana konteks yang telah disampaikan di awal. Kini pakaian bukan lagi sebuah kebutuhan untuk menutup diri, melainkan sebuah kemewahan yang dikenakan. Sehingga bukan sesuatu yang mengherankan bila dari sebuah pakaian, ada banyak hal yang dapat dinilai dari penampilan yang masing-masing orang tunjukkan.
Selalu susah bagi penulis menentukan pakaian mana yang hendak dibeli. Sifatnya yang pemilih dengan budgetnya yang terbatas. Menjadikan momen pencarian baju kalanya kecil menghabiskan 3 hingga 5 hari berkeliling toko pakaian di seluruh penjuru kota. Mulai dari department store seperti Matahari, Ramayana, Gajah Mada, hingga toko-toko baju kecil di pinggir jalan.
Banyak jenis pakaian yang dapat dipilih. Harganya pun bervarian mulai dari yang mahal hingga yang murah. Namun model yang sesuai dengan preferensinya sangatlah susah dicari pada saat itu. Kalau pun ada, pakaiannya tersedia di butik, distro besar atau di internet dengan harga yang tergolong mahal. Beruntung hidup di zaman ini. Sudah sangat banyak pilihan pakaian hanya dengan membuka e-commerce di handphone. Akses terhadap display model terbaru, harga yang dapat dijangkau, dan kemudahan pembelian serta pengantaran pakaian.
Pakaian yang mahal dan murah tentu saja memiliki perbedaan.
Berbisnis pakaian membuka mata penulis bahwa harga pokok produksi hanya mencapai 20–30% harga baju yang ditawarkan. Memang ada banyak proses dibaliknya seperti upah pekerja, harga bahan, ongkos distribusi, biaya desain, operasional, pemasaran, dan lain-lain dibalik harga yang penjual tawarkan dalam satu pakaian. Namun bukan keuntungan yang sedikit bahkan bila pakaian tersebut didiskon sekalipun. Pengetahuan yang ia dapat dari bisnis fesyen ini mengubah perspektifnya dalam melihat pakaian.
Bila dulu yang penulis lihat hanyalah model dan harganya. Kini yang ia lihat adalah bahannya, berapa besar margin dan harga produksinya, apakah ini buatan tangan, konveksi atau pabrik, apa merk lain punya model baju yang sama, apakah pakaian dengan material dan model ini layak dibeli dengan harga tersebut? Apa yang ingin kubeli. Sebuah gengsi atas merk pakaian yang kupakai atau fungsi utamanya sebagai penutup badan. Harga dari sebuah model atau harga dari sebuah material atau harga dari sebuah gengsi. Pilihan mana yang ingin kubayar? Hal-hal tersebut kini berdengung dan kerap menjadi pertimbangan penulis ketika membeli pakaian.
Ada kalanya kita menginginkan pakaian biasa saja untuk dipakai sehari-hari. Ada kalanya kita menginginkan pakaian dengan kualitas premium untuk dipakai pada kegiatan formal/penting. Ada kalanya pula seseorang menaikkan kualitas produk yang dibeli tergantung kenyamanan dan gaya hidup yang ingin ia tinggali. Semua itu relatif.
Bukan hal yang sulit bagi penjual pakaian untuk menaik-turunkan harga tergantung demand pembeli. Namun, butuh kejelian dalam membayar harga sesuai dengan kualitas produk yang dibeli.
Pakaian yang murah bukan berarti tidak berkualitas. Banyak pakaian cantik yang terjangkau namun mungkin bahannya tidak premium. Atau membeli pakaian mahal namun desainnya biasa saja, tapi mampu menaikkan rasa percaya diri karena termasuk merk papan atas. Menilai orang lain dari penampilannya hingga keputusan orang lain dalam berpenampilan harus dilakukan secara bijak. Ada harga yang harus dibayar terhadap hal-hal yang kita pilih dan semua itu tergantung pandangan hidup masing-masing dalam keputusannya bertransaksi.
Pustaka
- Tajuddin, F. N. (2018). Cultural and Social Identity in Clothing Matters “Different Cultures, Different Meanings.” European Journal of Behavioral Sciences. https://doi.org/10.33422/ejbs.2018.07.67
- Raj, P., Khattar, K., & Nagpal, R. (2017). “Dress to Impress”: The Impact of Power Dressing. The IUP Journal of Soft Skills, 11, 45.
Tersedia juga di https://medium.com/@nurulfaws/i-didnt-see-clothes-as-i-used-to-before-i-am-running-a-fashion-business-7c4263154e01
