Laki-Laki yang Merantau : Random Talkz #5

picture of pinterest

––––––

Merantau dan tinggal sendiri merupakan salah satu hal yang merubah perspektifku dalam melihat kehidupan. 20 tahun lebih kuhabiskan tinggal bersama orangtua dan keluargaku. Hidup nyaman, tanpa harus khawatir tentang kegiatan bebersih, karena semua dilakukan bersama (bukan tertumpu hanya pada diriku seorang). Hingga akhirnya di usiaku yang ke-22, aku merantau pertama kalinya ke Surabaya dan merasakan bagaimana rasanya tinggal sendiri di kota asing tanpa keluarga.


Sungguh, setidaknya sekali saja seumur hidup, manusia harus merasakan sensasi pergi jauh dan tinggal mengandalkan dirinya sendiri. Bukannya apa. Lama merasa nyaman, terlayani, membuat manusia terbiasa. Semuanya berubah ketika yang harus diandalkan adalah diri sendiri. Tidak ada lagi bangun, bersiap, dan tinggal duduk menikmati sarapan. Tidak ada lagi seprei dan sarung bantal yang sudah wangi terganti dengan sendirinya. Tidak ada lagi suara yang membangunkan tiap waktunya berangkat sekolah. Kini semua itu harus dilakukan dari dan untuk diri sendiri.

––––––

Aku adalah anak yang sedikit manja. Dari aku bayi hingga SMA, sudah beberapa kali bule (asisten rumah tangga berganti) Dari yang masih kuingat namanya seperti bule Romlah, bule Rina, Bule Puput, hingga yang lainnya sampai aku sendiri sudah lupa namanya. Aku selalu dekat hampir dengan semuanya karena bahkan sejak umurku 20 hari. Aku sudah ditinggal orangtuaku bekerja seharian penuh dan dititipkan kepada bule tersebut hingga waktunya mereka pulang. 

Seringkali aku tertidur ketika sedang menonton bule menyetrika. Pemilih dan hanya mau makan bila disuapi dan diajak ke kantor dengan lapangan luas di samping rumahku. Tidak membawa kendaraan sendiri karena ada supir yang tersedia untuk mengantarku pergi. Bukan hal yang mengherankan kalau ketika dewasa, keadaan sudah tidak seperti dulu, aku jadi tertatih untuk menjadi perempuan yang lebih rajin mengurus rumah. Terbiasa disiapkan lalu kemudian harus menyiapkan sendiri butuh pembiasaan yang baru lagi untuk dibangun.

––––––

Dulu aku selalu sedih ketika harus datang realita kakakku menikah kemudian tinggal terpisah bersama keluarganya dan pergi dari rumah. Aku memiliki banyak kakak sehingga ada banyak kamar di rumah. Kepergian mereka membuat kamar-kamar itu kosong (yang mana kemudian kukuasai 🙄) Polanya sama. Awalnya pergi sebentar, kemudian benar-benar pindah dan tidak kembali ke rumah. Sedih karena rumah rasanya menjadi sepi. Jarak usiaku dengan kakakku yang paling tua ialah 18 tahun dan yang paling muda yakni 7 tahun. Jarakku yang sudah jauh dari masa kecil kakak-kakakku, membuatku tumbuh sendirian dan menjadi si bungsu yang kesepian.

––––––

Sejak kecil aku sering kali dititipi untuk menjaga rumah sendirian. Banyak hal yang kulakukan, apalagi kalau bukan bermain sendiri dan berimajinasi. Menghabiskan pagi, siang, hingga sore menunggu Mama pulang ke rumah. Ada suatu waktu ketika aku sangat bosan, pernah Mamaku mendengar aku mengomel di depan temanku mengenai "Memangnya rumahnya lari kalau ga dijagain?!" dan racauan seperti "Aku bosan di rumaaaah" yang kemudian dilanjutkan dengan amarah Mama. Memangnya sesusah itu menjaga rumah? Mama ga bisa di rumah karena bekerja dan la-la-la-la. Yah, waktu itu aku masih kecil dan berusaha mengerti hal yang tidak kumengerti saat itu. Racauan yang kubuat itu hanyalah luapan kesepian saja. Bukannya aku mengkritik waktu yang dihabiskan orangtuaku diluar rumah mencari nafkah. Anak kecil itu memang sempit sekali pikirannya huh.


Kalau diingat-ingat, kapan ya pertama kali aku dilepas menjaga rumah sendirian tanpa bule? Dulu pernah ada suatu kejadian. Entah kapan, yang jelas aku masih SD kelas kecil. Waktu itu bule Rina bilang mau beli obat ke warung karena sedang sakit kepala. Aku iyakan karena pikirku ia akan segera kembali. Terasa lama, ia tidak muncul lebih dari sejam sejak ia bilang mau ke warung. Aku ditinggal sendirian pikirku kemudian aku jadi sedih dan takut karena di rumah sendirian.

Lalu aku menangis dari tengah hari hingga waktu asar. Aku bahkan buang air di kamar mandi yang tidak ada kakusnya (saking penakutnya aku berjalan sendiri ke toilet gelap di belakang 😂). Hingga akhirnya kakakku pulang dari sekolah jam 3 lewat dan menemukanku menangis sesenggukan di teras pintu rumah. Lalu tak lama orangtuaku pulang dan rumah jadi heboh. Besoknya bule itu ditegur. Entah aku lupa apa yang terjadi setelah itu, namun itu sungguh salah satu kejadian yang kuingat dari masa kecilku menjaga rumah. Sejak saat itu sepertinya bule Rina tidak lagi datang ke rumah dan aku memilih tetap tinggal di rumah namun dengan pintu dikunci.  Sudah cukup puas aku menghabiskan masa kecilku menjaga rumah. Bukan perkara bosan lagi, aku sudah terbiasa menghabiskan waktu sendirian. 


Tapi kemudian momen sendirianku terjadi lagi ketika kakak ketigaku menikah. Dulu tiap malam aku bergandengan bersamanya berjalan ke samping rumah membeli Tahu Tek-Tek untuk makan malam keluarga. Atau ke Pasar Malam, atau membeli Nasi Goreng, atau apapun. Ia kakakku yang paling terakhir menikah, sehingga waktu bujangnya dihabiskan menemani aku tumbuh dan kesana-kemari bersamaku. Menyebalkan saat itu karena ketika Ia menikah, suaminya pun jadi ikut kami pergi kemana-mana. Aku seperti kehilangan quality time bersama kakakku dan diintili dengan orang asing yang tidak kukenal sebelumnya. Kemudian ia pindah dari rumah dan kini aku benar-benar sendirian.


Aku baru belajar naik angkot sendiri ketika SMA. Aku belajar belanja dan jalan sendiri keluar. Aku belajar menghabiskan banyak waktuku seorang diri. Menjadi bungsu tidak semenyenangkan itu untukku. Walau banyak perhatian (dan omelan) yang kuterima, tidak tinggal dekat bersama kakakku membuatku sedih. Bukannya tidak dekat dengan orangtuaku. Aku hanya lebih suka bila semuanya berkumpul dengan lengkap. Tanpa harus menunggu momen lebaran dulu.


––––––


Kembali ke cerita merantau. Bila sendiri yang kurasakan di rumah adalah sebuah trial. Maka sendiri yang kurasakan ketika jauh dari rumah adalah realita sesungguhnya. Jauh dan sendirian adalah sebuah petualangan baru bagi si bungsu. Banyak hal yang buatku merasa bangga dengan keberanian diriku sendiri. Mulai keberanianku meng-haga hewan-hewan aneh yang keluar dari lubang air kamar mandi. Mengangkat makanan lembek dari sink cuci piring dapur. Menyikat dinding dan toilet dengan tanganku sendiri. Wah, sungguh sebuah prestasi bagi aku yang suka mual mengerjakan hal-hal jorok. Pekerjaan itu tidak akan pernah kusentuh bila aku tinggal di rumah dan masih ada orang lain yang bisa mengerjakannya.

Walau sedikit aneh (bagi sebagian orang), pekerjaan rumah yang paling aku suka adalah mencuci pakaian. Masih banyak errornya sih seperti pakaianku masih belum wangi semerbak seperti bila Mama yang mencuci. Namun, menyikat dan memeras pakaian seperti penghilang stress bagiku. Stress yang biasa dikarenakan tumpukan pakaian kotor yang harus dicuci. Menggantung dan menjemurnya sudah seperti mission complete yang buatku merasa lebih lega dan tenang.

Semua kerjaan domestik seperti memasak, mencuci, bersih-bersih adalah sebuah skill bagi semua manusia pas-pasan di muka bumi ini untuk bertahan hidup. Beda lagi bila kamu orang kaya dan memiliki seseorang yang bisa kamu bayar untuk melakukan semua itu untukmu. Bagi aku yang hidup sederhana ini, meminimalisir pengeluaran dengan melakukan sendiri adalah hal yang mau tidak mau harus kukerjakan adalah sebuah gaya hidup yang harus dijalani.

Bagiku, merantau adalah sebuah pengalaman berharga. Merasakan sulitnya hidup dan mengupayakan untuk bertahan melewati setiap harinya. Baik bagi setiap insan manusia, laki-laki dan perempuan. Setidaknya sekali saja dalam hidup untuk tahu rasanya hidup jauh dari keluarga besar dan menumpukan semua pilihan dan keputusan kepada diri sendiri.

––––––

Aku sebagai perempuan. Dekat dengan pekerjaan domestik tersebut yang biasa orang sebut sebagai 'pekerjaan perempuan'. Padahal nyatanya kan, masa hanya perempuan yang harus bisa? Bukannya laki-laki sebagai manusia juga harus bisa melakukan pekerjaan tersebut ya? Istilah 'Ibu Rumah Tangga' kini tidak hanya terbatas kepada satu gender saja kan? Sudah ada sebutan 'Bapak Rumah Tangga' di kehidupan modern ini. Tapi ego dan maskulinitas laki-laki kadang membuat diri mereka merasa malu dengan sebutan tersebut. "Menghancurkan kodrat laki-laki sebagai pencari nafkah" racau egonya yang larut dalam patriarki dimana mereka harusnya dilayani bukan sebaliknya.

"Membantu istri" bukan "ini kan tugasku juga dalam rumah tangga yang kita bangun"

Laki-laki yang dididik dengan benar tau pekerjaan domestik bukanlah hanya pekerjaan yang harus dilakukan perempuan. Merantau sebagai momen yang mereka jalani untuk merasakan pengalaman bertahan hidup, harusnya mampu mengajari mereka tentang berbagi tugas dengan pasangan dan seluruh anggota keluarga mereka. Berbagi bukan melimpahkan pekerjaan domestik hanya untuk istri atau anak perempuan mereka. Tau betapa melelahkan dan butuh banyak keberanian untuk melakukan pekerjaan rumah tangga tersebut. Sesederhana membuat kopi untuk dirinya sendiri. Memasak makanannya sendiri. Mencuci dan mengganti seprei yang biasa mereka tiduri tiap harinya. Menyetrika pakaian kerjanya sendiri. Pekerjaan yang tidak hanya perempuan yang bisa lakukan, namun laki-laki pun bisa, karena kita sama-sama manusia.


Tulisan ini bukannya menghakimi laki-laki karena asumsi-asumsi tersebut. Bukan pula menyalahi kodrat istri untuk mengurus keluarga dan suami untuk mencari nafkah keluarga. Apalagi kodrat patriarki dimana perempuan harus tunduk dan melayani apa yang laki-laki katakan. Lebih ke bagaimana kesetaraan antara kemampuan laki-laki dan perempuan dalam bertahan dalam menjalani hidup.


Laki-laki yang merantau, harusnya bisa menjadi salah satu spesifikasi seseorang menilai pasangan yang akan mereka pilih untuk hidup bersama nantinya. Bukan sekedar dia sudah bepergian kemana saja. Melainkan secakap apa ia mampu menjaga dan mengurus dirinya sendiri dengan kontrolnya sendiri.

Tidak semua laki-laki pemalas sama seperti tidak semua perempuan rajin. Pasti ada laki-laki rajin dan perempuan pemalas tergantung pilihnya mereka masing-masing. Setidaknya, jauh dari orangtua atau kerabat, mampu membuat manusia yang merantau ini bertahan hidup mengandalkan dirinya sendiri. Mengurus dirinya sendiri. Berdiri diatas kakinya sendiri. Setidaknya dia menjadi tau betapa merepotkannya mengurus pekerjaan domestik itu sendiri.

Apa suamiku mau untuk berbagi tugas rumah tangga? Apa suamiku mau mendukungku sebagai perempuan karir dan bergantian mencuci pakaian atau membersihkan dapur? Apa suamiku mau menyuci pantat bayi kita yang kotor karena kotoran dan mengganti popoknya tanpa harus aku yang meminta? Kesadaran untuk saling berbagi pekerjaan di rumah karena kita tau bahkan bagi gender apapun, pekerjaan itu merepotkan.


Anak perempuan atau anak bungsu kadang dispesialkan oleh keluarganya. Terbiasa diuruskan. Sehingga kadang punya karakter yang manja karena penuh perhatian untuknya. Namun bila keadaannya tidak seperti yang biasa mereka terima, mereka mampu berdiri sendiri dan beradaptasi. Perempuan ataupun laki-laki memang berbeda, secara fisik maupun rasio logika atau perasaan yang dipakainya. Namun, kekuatan laki-laki dan kelembutan perempuan, bukan alasan untuk membeda-bedakan kemampuan mereka sebagai manusia untuk bertahan hidup dengan caranya masing-masing. Semua manusia punya kesempatan yang sama untuk berkarir dan mengurus kehidupan mereka. 


Bila pekerjaan kantor kini bukan lagi hanya pekerjaan laki-laki. Pekerjaan domestik yang dulu hanya merupakan pekerjaan perempuan, harusnya kini juga bisa dilakukan laki-laki kan?