––––––
Merantau dan tinggal sendiri merupakan salah satu hal yang merubah perspektifku dalam melihat kehidupan. 20 tahun lebih kuhabiskan tinggal bersama orangtua dan keluargaku. Hidup nyaman, tanpa harus khawatir tentang kegiatan bebersih, karena semua dilakukan bersama (bukan tertumpu hanya pada diriku seorang). Hingga akhirnya di usiaku yang ke-22, aku merantau pertama kalinya ke Surabaya dan merasakan bagaimana rasanya tinggal sendiri di kota asing tanpa keluarga.
Sungguh, setidaknya sekali saja seumur hidup, manusia harus merasakan sensasi pergi jauh dan tinggal mengandalkan dirinya sendiri. Bukannya apa. Lama merasa nyaman, terlayani, membuat manusia terbiasa. Semuanya berubah ketika yang harus diandalkan adalah diri sendiri. Tidak ada lagi bangun, bersiap, dan tinggal duduk menikmati sarapan. Tidak ada lagi seprei dan sarung bantal yang sudah wangi terganti dengan sendirinya. Tidak ada lagi suara yang membangunkan tiap waktunya berangkat sekolah. Kini semua itu harus dilakukan dari dan untuk diri sendiri.
––––––
Aku adalah anak yang sedikit manja. Dari aku bayi hingga SMA, sudah beberapa kali bule (asisten rumah tangga berganti) Dari yang masih kuingat namanya seperti bule Romlah, bule Rina, Bule Puput, hingga yang lainnya sampai aku sendiri sudah lupa namanya. Aku selalu dekat hampir dengan semuanya karena bahkan sejak umurku 20 hari. Aku sudah ditinggal orangtuaku bekerja seharian penuh dan dititipkan kepada bule tersebut hingga waktunya mereka pulang.
Seringkali aku tertidur ketika sedang menonton bule menyetrika. Pemilih dan hanya mau makan bila disuapi dan diajak ke kantor dengan lapangan luas di samping rumahku. Tidak membawa kendaraan sendiri karena ada supir yang tersedia untuk mengantarku pergi. Bukan hal yang mengherankan kalau ketika dewasa, keadaan sudah tidak seperti dulu, aku jadi tertatih untuk menjadi perempuan yang lebih rajin mengurus rumah. Terbiasa disiapkan lalu kemudian harus menyiapkan sendiri butuh pembiasaan yang baru lagi untuk dibangun.
––––––
Dulu aku selalu sedih ketika harus datang realita kakakku menikah kemudian tinggal terpisah bersama keluarganya dan pergi dari rumah. Aku memiliki banyak kakak sehingga ada banyak kamar di rumah. Kepergian mereka membuat kamar-kamar itu kosong (yang mana kemudian kukuasai 🙄) Polanya sama. Awalnya pergi sebentar, kemudian benar-benar pindah dan tidak kembali ke rumah. Sedih karena rumah rasanya menjadi sepi. Jarak usiaku dengan kakakku yang paling tua ialah 18 tahun dan yang paling muda yakni 7 tahun. Jarakku yang sudah jauh dari masa kecil kakak-kakakku, membuatku tumbuh sendirian dan menjadi si bungsu yang kesepian.
––––––
Sejak kecil aku sering kali dititipi untuk menjaga rumah sendirian. Banyak hal yang kulakukan, apalagi kalau bukan bermain sendiri dan berimajinasi. Menghabiskan pagi, siang, hingga sore menunggu Mama pulang ke rumah. Ada suatu waktu ketika aku sangat bosan, pernah Mamaku mendengar aku mengomel di depan temanku mengenai "Memangnya rumahnya lari kalau ga dijagain?!" dan racauan seperti "Aku bosan di rumaaaah" yang kemudian dilanjutkan dengan amarah Mama. Memangnya sesusah itu menjaga rumah? Mama ga bisa di rumah karena bekerja dan la-la-la-la. Yah, waktu itu aku masih kecil dan berusaha mengerti hal yang tidak kumengerti saat itu. Racauan yang kubuat itu hanyalah luapan kesepian saja. Bukannya aku mengkritik waktu yang dihabiskan orangtuaku diluar rumah mencari nafkah. Anak kecil itu memang sempit sekali pikirannya huh.
Kalau diingat-ingat, kapan ya pertama kali aku dilepas menjaga rumah sendirian tanpa bule? Dulu pernah ada suatu kejadian. Entah kapan, yang jelas aku masih SD kelas kecil. Waktu itu bule Rina bilang mau beli obat ke warung karena sedang sakit kepala. Aku iyakan karena pikirku ia akan segera kembali. Terasa lama, ia tidak muncul lebih dari sejam sejak ia bilang mau ke warung. Aku ditinggal sendirian pikirku kemudian aku jadi sedih dan takut karena di rumah sendirian.
Lalu aku menangis dari tengah hari hingga waktu asar. Aku bahkan buang air di kamar mandi yang tidak ada kakusnya (saking penakutnya aku berjalan sendiri ke toilet gelap di belakang 😂). Hingga akhirnya kakakku pulang dari sekolah jam 3 lewat dan menemukanku menangis sesenggukan di teras pintu rumah. Lalu tak lama orangtuaku pulang dan rumah jadi heboh. Besoknya bule itu ditegur. Entah aku lupa apa yang terjadi setelah itu, namun itu sungguh salah satu kejadian yang kuingat dari masa kecilku menjaga rumah. Sejak saat itu sepertinya bule Rina tidak lagi datang ke rumah dan aku memilih tetap tinggal di rumah namun dengan pintu dikunci. Sudah cukup puas aku menghabiskan masa kecilku menjaga rumah. Bukan perkara bosan lagi, aku sudah terbiasa menghabiskan waktu sendirian.
Tapi kemudian momen sendirianku terjadi lagi ketika kakak ketigaku menikah. Dulu tiap malam aku bergandengan bersamanya berjalan ke samping rumah membeli Tahu Tek-Tek untuk makan malam keluarga. Atau ke Pasar Malam, atau membeli Nasi Goreng, atau apapun. Ia kakakku yang paling terakhir menikah, sehingga waktu bujangnya dihabiskan menemani aku tumbuh dan kesana-kemari bersamaku. Menyebalkan saat itu karena ketika Ia menikah, suaminya pun jadi ikut kami pergi kemana-mana. Aku seperti kehilangan quality time bersama kakakku dan diintili dengan orang asing yang tidak kukenal sebelumnya. Kemudian ia pindah dari rumah dan kini aku benar-benar sendirian.
Aku baru belajar naik angkot sendiri ketika SMA. Aku belajar belanja dan jalan sendiri keluar. Aku belajar menghabiskan banyak waktuku seorang diri. Menjadi bungsu tidak semenyenangkan itu untukku. Walau banyak perhatian (dan omelan) yang kuterima, tidak tinggal dekat bersama kakakku membuatku sedih. Bukannya tidak dekat dengan orangtuaku. Aku hanya lebih suka bila semuanya berkumpul dengan lengkap. Tanpa harus menunggu momen lebaran dulu.
––––––
––––––
