Bukan wacana dadakan, namun tiba-tiba jadi yang menarik! Weekend ketiga di tahun 2024 kuhabiskan untuk mendaki Gunung Papandayan bersama Ka Dhani, Bang Tria, & Teh Yani. Menghitung hari menuju hari pelaksanaan, semakin gugup rasanya karena bisa dibilang ini gunung pertama kami (kecuali ka Dhani). Kalau lihat di Tiktok sih ulasannya menarik karena ada beberapa spot yang terlihat cantik di foto.
Menarik karena ini berarti pendakian keduaku setelah yang pertama kali di bukit daerah Cangar, Mojokerto 2022 lalu. Pendakian pertamaku benar-benar tidak aku siapkan sama sekali karena berpikir hanya akan mendaki, menikmati sore dengan duduk minum-minuman hangat lalu turun. Namun dugaanku salah, hujan lebat di jalan buat kami merasa sayang untuk segera pulang karena sudah sampai lokasi setelah melalui badai selama perjalanan.
Pendakian pertamaku menyenangkan tapi aku tidak tahu sama sekali apa yang harus dilakukan. Terima kasih pada rekanku saat itu yang mengurus dan menyiapkan tenda serta segala macam perlengkapan. Aku hanya bisa duduk melihatnya merakit tenda di tengah hujan. Kamping di bawah hujan, tanpa penerangan yang cukup dan baterai hp yang terbatas. Malam itu sungguh terasa lama, dihabiskan menggigil kedinginan dan menunggu matahari terbit. Menahan dingin hanya dengan jaket tipis dan tenda yang penuh dengan tumpahan becek dan tidak tau apa karena gelap. Sungguh pengalaman pertama berkemah yang penuh kedinginan 🥲 Tidak akan kubiarkan pendakian keduaku tidak bersiap seperti kemarin lagi! ☃️
––––
Belajar dari pengalaman pertama, di perjalananku kali ini, aku menyiapkan segala keperluan yang harus dibawa ke gunung sebaik mungkin. Carrier, tenda, matras, pakaian tebal, bekal makan, air bersih, tisu, cemilan, sarung tangan, uang cash, topi, senter, hammock (hihi), trekking pole, kompor juga nesting. Barang-barang yang harus dibawa ketika mendaki (belum termasuk tali, pasak, dan lain-lainnya yang lain). Segala peralatan yang baru aku tahu dan akhirnya kupelajari setelah pendakian pertama. Tidak semuanya kubawa sendiri, karena perjalanan kali ini berempat dan dipandu Ka Dhani sebagai pendaki berpengalaman yang menjadi leader dalam pendakian ini, sehingga kita bisa berbagi beban sesuai barang yang kita bawa dan kekuatan kita 🥹
––––
Gunung yang kami daki bernama Gunung Papandayan di Kecamatan Cisurupan, Garut, Jawa Barat. Dipilih karena cukup landai dan cocok untuk pendaki pemula (katanyaa 👀) Namun tidak bisa didaki sampai puncak karena pihak Taman Wisata membuat beberapa larangan untuk tidak melintasi daerah tertentu.
Dari Bandung, kami menggunakan commuter line menuju Garut seharga Rp14.000,- yang dipesan melalui aplikasi KAI Access. Outfit check dulu alias laporan ke grup keluarga sebelum naik kereta dari Stasiun Kiara Condong, Bandung ke Stasiun Garut selama kurang lebih 3 jam perjalanan. Melewati kawasan masjid Al Jabbar, dilihat dari jauh masjid itu memang cantik sekali 🥺🕌
Pemandangan yang disuguhkan sepanjang perjalanan kereta menuju Garut sangaat indah. Hamparan sawah, terasering juga pohon-pohon terhampar dengan langitnya yang luas. Cantik! 🌳
Sesampainya kami di Stasiun Garut, kami makan siang dan membeli air dulu di Indomaret. Sebuah tips yang baru kuketahui dari Ka Dhani, ketika kita mendaki jangan lupa untuk mencemil yang manis-manis. Bila orang zaman dulu memakan gula aren, saat ini boleh apapun yang manis. Jadi kami putuskan membeli choki-choki untuk menemani kami mendaki. Setelah makan siang, belanja, dan menarik uang cash, perjalanan kami lanjutkan menuju gerbang gunung menggunakan Grabcar dengan biaya Rp150.000,- dari stasiun kereta.
Pendakian kami mulai lebih awal dibanding yang lain. Karena ini pertama kalinya bagi kita berempat mendaki Gunung Papandayan, kami mengira mobil hanya bisa mengantar penumpang sampai gerbang tiket. Padahal setelah gerbang tiket masih ada tanjakan dan parkiran baru ada diatasnya. Setelah membeli tiket masuk dan camping sebesar Rp 65.000,-/orang, kami menepi untuk mengemas ulang barang bawaan kami ke carrier masing-masing. Lalu mulai mendaki menuju parkiran dan sampai pos 3 untuk melaporkan kedatangan kami.
––––
Sekarang musim hujan, sehingga angin dan gerimis tidak terelakkan. Hawanya sudah sangat dingin bahkan sejak sampai di depan gerbang tiket. Sarung tangan, trekking pole, dan jaket tebal terpasang untuk memulai pendakian ini. Tidak lupa untuk mendokumentasi setiap milestone yang telah kita lalui sepanjang perjalanan sejak awal hingga akhir.
Berfoto di depan gerbang
Perjalanan kita mulai sekitar jam 13.30 - 14.00, dibawah rintik-rintik, angin, kabut dan mendung. Tidak seperti di Kalimantan, hanya di Jawa aku banyak berjalan kaki. Usahaku jalan kaki tiap ada kesempatan, sedikit banyaknya membantu agar tidak cepat lelah. Tapi jujur baru di awal aku sudah ngos-ngosan 🥲🥾
Kami berjalan menanjak naik dengan tanah aspal awalnya. Hingga kemudian jalan berubah berbatu dan aroma belerang mulai tercium. Baunya seperti telur busuk karena sudah dekat dengan area kawah di atas sana. Batunya lumayan tajam dan banyak dengan aliran air di sisi kirinya. Menaiki tangga batu satu demi satu, dengan lapisan kabut yang semakin tebal. Karena badan kami semakin basah karena derasnya rintik, kami putuskan memakai jas hujan.
Hampir lupa untuk memakan manisan, kami pun menyantapnya. Manis Nuu, bang Tria, teh Yani coklat choki-choki, sedang ka Dhani vape 💨 Seperti yang kita tahu jejak manusia di muka bumi adalah sampah. Banyak sampah choki-choki tercecer di sepanjang jalan yang kami lalui. Yang mana artinya, yang dicemil sama (namun kenapa buang sampah sembarangan....)
Bersyukur karena we taking care of each other. Kalau ada yang lelah, letih, ingin minum, kami akan panggil teman terdekat untuk berhenti dan beristirahat sejenak. Paling lama 5 menit agar tidak kedinginan dan terlalu lama.
Mendaki gunung berarti berjalan naik ke atas. Terjalnya tanah, bebatuan dan rintik yang semakin membesar. Pohon di kanan kiri jalan, mengalirkan segarnya air di sela-sela bebatuannya. Mengundang hewan-hewan didalamnya bersenandung merayakan hujan. Aku mendengar suara bleb-bleb di sisi kanan pepohonan. Entah hewan apa yang sedang bernyanyi 🎶☔️
Basah dan 'licak' (becek dalam bahasa Banjar) seakan tak terelakkan mengotori sepatu putihku. Dengan beban yang lumayan berat yang dibawa di punggung, sungguh rasanya langsung membawa diri ini untuk merenungi dan memaknai kembali hidup yang sedang dijalani 🪵🌳 Melankolis...😛
Perjalanan panjang melewati sungai, pohon, tanah, batu, kabut. Kakiku dua kali kram saking terjalnya medan yang dilalui 😭 Agak takut tidak bisa melanjutkan perjalanan karena kramnya di telapak kaki. Agak menyesal ga beli krim pereda nyeri seperti counterpain, jadi dipasangin koyo di kedua telapak kaki tersebut. Menguatkan diri dan kaki, berharap-harap cemas, semoga sepatunya kuat karena medannya penuh dengan tanah yang licin dan bebatuan haha 🥲👟
Sedikit cerita, ini sepatu yang sama dengan pendakianku yang pertama. Memang kubeli untuk dipakai sehari-hari selama berkuliah di Surabaya. Aku selalu suka sepatu warna putih, tapi selalu susah buatku merawatnya. Awalnya sepatu ini berwarna putih bersih, namun karena bahannya fiber dan banyak serat mikronya, sepatu ini susah dibersihkan.
Apalagi setelah terendam lumpur cukup dalam ketika mendaki saat itu. Sudah dicoba dibersihkan ke banyak laundry, namun susah mengembalikannya seperti sedia kala. Aku hanya membeli barang essensial hanya bila sudah rusak atau tidak bisa dipakai lagi, membuatku menahan diri membeli sepatu baru selagi masih bisa digunakan. Hebatnyaa dia bisa bertahan sejak 2021 akhir hingga selama ini! I love you sepatu putihku yang tidak terlihat putih aslinya 😂 For another adventure we walk together yaa 👟🤍
Kembali ke cerita mendaki. Perjalanan menuju camping area di Pondok Saladah di Gunung Papandayan entah kapan sampainya. Dijalani saja semua medan itu tanpa bertanya-tanya. Jalan semakin terjal, semakin hutan, semakin tanah, semakin naik, semakin tinggi, dan semakin hujan. Ketika plang selamat datang muncul, terasa lega karena akhirnya kita kira sudah sampai. Ternyata masih 10-15 menit lagi untuk benar-benar sampai. Ketika kita bertemu dengan pohon-pohon hitam berbentuk dunia sihir, akhirnya kita benar-benar sampai, fyuuh rasanyaa 😮💨
Akhirnya benar-benar sampai di camping arena. Kabut masih menyelimuti dan angin yang berhembus benar-benar-benar-benar terasa sangat dingin. Bahkan anginnya berbunyi! Gesekan pohon-pohon yang dihempas angin membuat suara syahsyuh. Sampai beku rasanya tiap kali angin bertiup 🥹🌬️☃️Karena sudah semakin sore, kami bergegas merakit tenda sebelum gelap.
Dari awal sudah diberi tahu kalau banyak babi berkeliaran, sehingga diperingatkan untuk menggantung makanan di pohon. Benar saja! Ketika kami sedang menyusun barang-barang kami masuk ke tenda masing-masing. Ada babi! 🐷 Warnanya hitam, tidak ada taringnya tapi besar. Persis seperti yang kubayangkan pada lukisan gua prasejarah, namun berlari di depan mataku 🥹 Kemudian dihalau ka Dhani dan ia lari menjauh dari tenda. Kata ka Dhani itu babi betina karena tidak ada taringnya. Tapi tetap saja, itu babi 🥹
Setelah semua beres, kami bebersih dan menikmati sore di sekitar. Ternyata warung yang ada disini cukup banyak. Yah sekitar 4-5 warung yang menawarkan makanan dan api unggun. Harganya pun tergolong normal dan tidak dimahalkan seperti tempat wisata pada umumnya. Ada siomay, bakso, cuanki, mie goreng. Tapi tidak banyak yang bisa kami lakukan karena malam semakin dekat dan udara saaaangatttt dingin lebih dari yang kukira. Tangan dan kakiku terasa membeku. Bahkan wajahku terasa memerah saking dinginnya sekitar (oh begini rasanya pipi memerah tanpa blush-on, haha)
Kami bersantai di tengah terpaan angin. Foto-foto dan mengisi perut kami dengan makan siomay, mencoba tetap kenyang agar tidak membeku. Seporsi siomay dengan harga Rp10.000,- tanpa telur dan tambah Rp5.000,- dengan telur. Masih harga yang wajar kan untuk makanan diatas gunung 🥶
Tak lama malam datang. Kami kembali ke tenda, membuat makan malam. Menyalakan kompor dan mengeluarkan perbekalan kami. Malam itu kami makan spagetti, menyeduh minuman hangat, dan mengobrol di tenda seputar pengalaman ka Dhani mendaki juga bahasa rupa topiknya teteh. Tidak 'samarindanisasi' mengajarkan teteh kata-kata dan imbuhan yang biasa digunakan di Samarinda. Contohnya penggunaan kata 'pang' yang masih sulit dijelaskan cara pakainya 😂
Karena setelah itu agendanya adalah tidur. Aku memutuskan memakai semua pakaian yang kubawa. Memakai dua lapis celana dan pakaian yang kulapis hingga 4-5 sweater (yang nyatanya tetap saja dingin 🥶❄️) Aku juga mencoba mengikat plastik di kakiku atas saran aa' rental dan aa' grab yang menyarankan hal tersebut untuk menghindari dinginnya gunung. Tidak lupa ke toilet dulu (dengan air yang terasa seperti baru keluar dari kulkas) agar tidak terbangun tengah malam dan bolak balik dipeluk embun. Terakhir yang bisa kulakukan, minum Antangin untuk menghangatkanku dari dalam dan cukup ampuh 😂 (Rempah nusantara cintaku 🫚)
Angin berembus kencang. Ka Dhani yang tidur di hammock membuat kami khawatir. Karena dari dalam tenda yang kutempati berdua teteh saja hempasan angin begitu heboh, syah syuh, dan dingin... Apalagi dia yang tidur diluar 🥲 Walau kali ini sudah tidur dengan proper menggunakan sleeping bag. Namun tidurku pun tetap tidak nyenyak karena masih kedinginan. Membuatku menggeliat ke kanan dan ke kiri mencari posisi nyaman tapi tidak juga dapat.
Hingga paginya aku terbangun karena waktu sudah menunjukkan pukul 4.30, waktunya Subuh. Aku dan teteh bangkit menuju mushola gelap-gelap diterangi senter. Air yang kami bawa masuk ke tenda seakan sedang masuk ke dalam kulkas karena penuh dengan embun dingin pada sisinya. Iya, kakiku pun sama dingin rasanya. Selepas subuh, aku dan teteh mampir ke warung untuk menikmati minuman hangat dan bercerita tentang hal-hal yang kami maknai selama naik gunung menunggu matahari terbit.



Tidak seperti yang aku bayangkan, matahari pagi tidak hangat seperti yang kuharapkan. Udaranya masih dingin dan tidak ada matahari yang bersinar terang disela ranting pohon. Padahal aku sudah membayangkan akan menggambar diatas hammock sambil disirami cahaya matahari 🥲 Akhirnya setelah aku dan teteh bersenang-senang menikmati embun pagi, kami putuskan untuk kembali ke tenda dan tidur lagi. Aku naik ke hammock dan tidur disana. Baru setelah itu kami bangun lagi dan memasak sarapan. Menu pagi ini nasi, mie, dan krim sup!
Lepas sarapan, kami berkemas dan siap-siap untuk melanjutkan perjalanan. Ada tempat menarik yang harus kami kunjungi sebelum pulang! Berikut outfit mendaki kita berempat 😆 Kita berempat dengan carrier masing-masing dan Tria dengan celana jas hujannya karena jeans yang dibawanya kebasahan.
Papandayan camping mate 🏕️
Karena kemudian hujan kembali turun, kami memakai jas hujan kami lagi. Perjalanan kami lanjutkan menuju Hutan Mati dengan waktu tempuh 15-20 menit. Pohon-pohon di hutan ini berwarna hitam dan tidak ada daun yang tersisa akibat erupsi Gunung Papandayan tahun 2002 lalu. Waktu kami lewat, hujan deras sehingga penuh kabut tebal. Sesekali mereda ditiup angin dan tampak jelas pagar-pagar disisi hutannya. Karena tanah kuning disini cukup licin, aku sempat terjatuh dan telapak tanganku tergores sesuatu. Sakitt 😭 tapi biarlah, pemandangan disini sungguh cantik sekali! Memang benar istilah, "untung cantik!" jadi lelah dan sakit yang ditahan selama perjalanan mampu ditahan-tahan karena pemandangan indahnya.

Setelah hutan mati, perjalanan menuju bawah yang artinya kita akan berjalan menuruni gunung. Bila ternyata mendaki gunung terasa lelah dan menakutkan, ternyata turun dari gunung punya perasaan yang sama. Lebih lagi karena gaya gravitasi dan pergelangan kakiku yang sudah semakin renta akibat medan yang penuh bebatuan, rasanya semakin takut untuk terjatuh lagi karena menuruni tangga batu-batu ini.. Sungguh terima kasih trekking pole, sebuah alat yang sangat membantu menghadapi perjalanan baik tanah keras, kerikil, lembek, dan bebatuan ini 🥹🏞️
Kemudian cuaca kembali cerah, jadi kami putuskan lepas saja jas hujannya. 3 pendaki pemula ini berhasil naik Gunung Papandayan 2665 mdpl dan 1 pendaki senior ini berhasil memandu 3 orang ini naik hingga turun gunung lagi. Melihat pemandangan ini dari atas sungguh melegakan 🥹 Cantikk
View kawah-kawah dari atas gunung
Perjalanan kami lanjutkan menuruni tangga-tangga batu ini. Hingga sampai berpapasan dengan orang-orang yang tidak pernah kita temui sebelumnya, dan selesai. Pendakiannya telah usai dan kami berhasil mendaki gunung pertama kami di Garut!
This such a memorable moment that I spent with my friends. Menyenangkan bisa naik gunung dan menikmati alam bersama-sama. Entah akan ada pendakian yang ingin kulakukan lagi atau tidak setelah ini. Setidaknya pendakian Gunung Papandayan ini sungguh menyenangkan bagiku.
Terutama setelah membaca buku pak Surianto Rustan yang berjudul "Mari Berhitung Sisa Hidupmu", perjalananku ke Gunung kemarin benar-benar membawaku ke berbagai pemaknaan hidup. Dibukunya ia bilang kalau hidup itu seperti naik gunung. Di awal hidup kita akan menaiki gunung itu, sampai di puncak, hingga kelak akhirnya kita akan turun.
Terlebih dengan beban yang dipikul selama perjalanan, membuatku merasa, "oh begini ya rasanya sedang dalam perjalanan naik tapi memikul beban yang sangat berat. Akan sayang kalau jatuh, yang luka bukan hanya diri sendiri namun semua yang terikut dalam diri juga ikut terhambur.
Ada kalanya beban itu diistirahatkan diatas batu. Bebas kita bersenang-senang tanpa memikul sesuatu di punggung kita. Namun, mau tidak mau kita bawa lagi hingga sampai tujuan. Lanjut berjalan lagi memikul beban tersebut. Begitu ya rasanya menjadi anak pertama dan anak keberapapun yang diandalkan dan diharapkan oleh keluarga."
Naik atau turun gunung terasa berat dengan beban yang dipikul. Tinggal bagaimana diri kita menguatkan diri saja yang menjalani perjalanan di hidup kita.